Ketentuan Advokat Asing Harus Selektif Bukan Protektif
Semua negara harus terbuka dan menerima dengan ketentuan WTO termasuk Indonesia. Namun kita tidak boleh protektif menghadapi perkembangan dari luar, kita harus selektif. Demikian pula, dalam hal ketentuan menerima Advokat Asing.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, menjawab pertanyaan anggota Badan Legislasi DPR RI Nudirman Munir (F-PG) mengenai Ketentuan Bagi Advokat Asing saat Rapat Dengar Pendapat di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (26/2) dalam rangka memberikan masukan bagi RUU Advokat.
“Selektif dalam pengertian kita memberikan persyaratan yang begitu berat bagi advokat asing sehingga dia tidak mampu memenuhi standar kita,” katanya.
Jika kita ingin mengikuti standar internasional, menurutnya tidak ada larangan kita membuat persyaratan-persyaratan selektif, tapi bukan protektif.
Menurutnya, ketika era Mochtar Kusumaatmadja menjadi menteri, beliau begitu seimbang dan adil, advokat asing boleh masuk tapi dia memiliki kewajiban memberikan ceramah atau pendidikan. Maksudnya, advokat asing boleh masuk karena memang dia lebih pintar dan maju. Istilahnya semacam transfer of knowlege.
Yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah konsep ini masih penting. Karena banyak advokat kita sekolah di luar negeri, apakah kita mau bodoh terus.
“Saya minta dewan mempertimbangkan hal ini, jangan menganggap advokat asing itu lebih mengetahui dan lebih pinter dari kita, pemikiran seperti ini harus dihapus dari kita,” tegas Romli.
Dijelaskan Romli, bahwa masa tahun 1975 eranya Mochtar Kusumaatmadja, wajar saja hal itu dilakukan karena kita terkucil dari negara luar. Tapi saat ini kita sudah sekian tahun reformasi, persyaratan transfer knowledge apakah masih perlu. Dikhawatirkan lama-lama yang ditransfer bukan ilmunya tapi uangnya. “Jadi ilmu kita tidak maju-maju, mereka yang jadi pinter, itu yang terjadi,” pungkasnya.
Jika memang advokat asing harus tetap kita terima, kata Romli, kita harus selektif namun tidak protektif , tetap ada kewajiban-kewajiban bagi advokat asing tersebut. Jika tidak salah, Kementerian Hukum dan HAM juga memberika kewajiban sekian kali memberikan pendidikan di fakultas hukum mendapat point.
Selain memberikan berbagai pertimbangan bagi advokat asing, Romli juga mengingatkan untuk menetapkan adanyan sanksi. “Jadi kalau sanksi bagi advokat kita ada, demikian pula untuk advokat asing kalau memang dia melanggar ketentuan kita. Hal ini perlu juga ditegaskan didalam RUU Advokat,” tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, Romli juga menyampaikan keherannya membaca TOR RUU Advokat dari Baleg. Dimana dinyatakan bahwa MK Memutuskan menghapuskan Pasal 31 mengenai Ketentuan Pidana.
Keputusan MK menganggap, Pasal 31 tentang Ketentuan Pidana dalam UU Advokat dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Padahal menurutnya hal ini dalam UU Advokat sudah benar adanya. Apa yang menjadi pertimbangan MK.
Pasal 31 RUU advokat menyatakan, setiap orang sengaja menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tapi bukan advokat, wajar dihukum.
Justru ini, katanya, untuk menjaga martabat advokat. Ia mengusulkan untuk menghidupkan kembali pasal ini dan tidak diikuti putusan MK tersebut.
Selain itu, Romli juga mengusulkan kalau memang Dewan hanya merubah UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak apa-apa. karena menurutnya, perubahannya sendiri tidak begitu banyak, hanya dua sampai tiga pasal dari 30 pasal yang ada. Dan kalau pun akan membentuk UU baru tidak menjadi soal. (sc), foto : iw/parle/hr.